Monday, 21 July 2008

Abdurahman Faiz, Bocah Cilik di Titian Puisi


Dua tahun yang lalu seorang teman Anin mengenalkanku dengan sosok ini,karena dia ngefans banget sama faiz,dia selalu bercerita dan mengenalkanku dengan faiz,katanya faiz adalah teman inspirasinya, Mm menarik juga ya, hingga akhirnya berbagai buku2 faiz aku coba juga koleksi, karena faiz banyak kasi aku inspirasi, Emosionalnya begitu dalam, sangat peka humanitinya di usianya yang masih sangat belia saat itu, 3 tahun yng lalu.

Ini satu siang biasa. Saat seorang bocah tiga tahun datang ke bundanya dengna mimik serius. Abdurahman Faiz, bocah tiga tahun itu, bercerita tentang temannya bernama Mimis. "Kasihan deh, Bunda. Mimis itu ibunya tukang cuci, bapaknya satpam di mal. Ibunya sakit-sakitan sampai batu darah. Mal tempat bapaknya bekerja dibakar dan dijarah orang banyak. Aku kasihan sekali padanya."

Tentu saja Bunda Faiz, Helvy Tiana Rosa, yang juga seorang cerpenis itu, didera kebingungan luar biasa. Selama ini ia merasa tak pernah tahu ada teman anaknya bernama Faiz. Belum hilang kebingungan Helvy, Faiz yang belum masuk TK atau Playgroup itu melanjutkan ceritanya. "Kasihan deh Si Mimis itu. Kita harus menolong dong, Bunda."

Walaupun disergap kebingungan Sang Bunda akhirnya berkata, "Faiz, mari kita tolong Mimis. Dia tinggal di mana? kok Bunda belum tahun?"

Disodori pertanyaan serius itu bocah tiga tahun itu tertawa tergelak. "Mimis itu kan cuma teman khayalanku."

Anak kelahiran 15 November 1995 itu benar-benar seperti sebuah keajaiban. Anak tiga tahun itu sudah fasih mengarang dongeng. Ia juga sudah tahu konsep teman khayalan.

Selain pandai mengarang, kelebihan lain yang jarang dimiliki anak-anak seusianya adalah bahasa puisnya yang halus, detail, dan padat makna. Bukunya yang pertama adalah kumpulan puisi-puisnya diterbitkan saat dia masih berusia 8 tahun yang berjudul untuk Bunda dan Dunia (DAR Mizan, Januari 2004).

Lihatlah bagaimana kata-kata itu mengalir dari jemarinya yang halus dan senang menulis puisi di dalam ponsel.
"Engkau adalah puisi abadiku
yang tak mungkin kutemukan
dalam buku" (Puisi Bunda 2, November 2003).

Sejak 2003 hingga sekarang sudah ada sepuluh buku yang ia tulis, baik sendiri maupun bersama-sama penulis lainnya. Bukunya, Guru Matahari, yang juga diterbitkan DAR Mizan, bahkan masuk dalam daftar unggulan Khatulistiwa Literary Award 2005--ini adalah salah satu penghargaan bergengsi bagi penyair atau novelis. Dan yang terbaru Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House, Juli 2007.

Sehari-hari Faiz adalah bocah biasa. Ia masuk sekolah negeri di SDN 02 Cipayung saat dia baru tujuh tahun. Sepulang sekolah seperti umumnya anak-anak dia les, mengaji , dan bermain. Sejak kecil ia suka mengutak-atik peranti elektronik. Di usia tiga tahun, dia sudah mahir mengoperasikan PDA, segala jenis ponsel, laptop dan internet. Ia bahkan punya laptop sendiri, walau bekas milik bundanya.

Dibesarkan oleh ayah seorang junalis teve dan ibu sastrawan dengan sederet penghargaan nasional dan internasional, kepiawaian Faiz menulis dan membaca berkembang pesat sejak dia belum berusia 5 tahun. "Kalimat yang dipilihnya sangat puitis dan mengharukan, tapi tidak cengeng," ujar Helvy, sang ibu, yang dikenal sebagai motor berkembangnya komunitas penulis Forum Lingkar Pena yang kini dikuti ribuan orang di berbagai kota dan negara.

Kecemerlangan Faiz dalam menulis itu membuat bundanya sering membujuknya ikut aneka lomba menulis. Salah satu sejarah yang ditorehkan Faiz adalah saat dia meraih Juara I pada Lomba Menulis Surat untuk Presiden tingkat nasional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2003. Saat itu ia baru duduk di kelas I SD. Saat duduk di kelas II SD, ia juga menyabet gelar juara Lomba Cipta Puisi Tingkat SD seluruh Indonesia yang diadakan Pusat Bahasa Depdiknas pada 2004.

Dari sinilah kemudian ia diburu wartawan, ditawari main sinetron dan beberapa acara televisi seperti Who Wants to be President. Ia juga diburu penerbit Mizan. "Ternyata menjadi terkenal itu tidak enak ya. Capek dikejar-kejar orang. Semua mencium saya sembarangan," katanya polos.

Salah satu keajaiban Faiz, menurut Riris K. Toha Sarumpaet, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, adalah bocah itu bisa merekam detail fakta, dan memeliki pemahaman sosial yang matang. Contohnya, dia berani menuliskan puisi yang "mengajari" presiden, memotret penderitaan anak tukang becak dan tukang cuci yang ia tuangkan dalam puisi 38 baris berjudul Siti dan Udin di Jalan. "Sebuah tema yang mengaduk perasaan dan stilistik," kata Riris dalam suatu kesempatan.

Faiz kini banyak diundang di berbagai acara pembacaan puisi di dalam maupun luar negeri. Namanya kini disandingkan dengan para penyair hebat seperti Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono. Bocah kecil itu telah menjelma menjadi sang fenomena. (sun)