Tuesday, 10 September 2013

PARADOXS DI KOTA SANTRI I

PONOROGO. Masa yang lalu Ponorogo terkenal dengan sebutan kota santri. Sebutan ini tidak lepas dari nama besar Pondok Modern Gontor yang membahana di seluruh Indonesia bahkan manca negara. Tak heran mereka yang dari luar berbondong-bondong untuk nyantri di pondok yang moncer ini. Kemudian karena sangking mengidolanya dengan pondok tersebut, maka mereka kemudian menamakan Ponorogo dengan sebutan kota santri. Memang!. Di samping adanya pondok Modern Gontor yang megah tersebut,  tak  kurang  400 ponpes terdaftar di Ponorogo yang tersebar di belahan daerah hingga pelosok-pelosok. Akan tetapi, jangan dikira para santri yang mondok di pesantren-pesantren itu adalah penduduk pribumi. Akan tetapi justru yang memadati adalah santri-santri dari luar daerah. Lantas ke mana orang-orang pribumi belajar?  Ya, kebanyakan hanya di sekolah-sekolah umum ujar Pak Rudi tokoh pendidikan yang berhasil di Ponorogo Nah!,


Tapi gambaran kota santri yang religious, sangat paradok jika meliihat pemandangan tempat mangkalnya anak muda Ponorogo. Mulai jalan baru dekat stadion, kafe remang-remang, hotel di tengah kota, hotel di objek wisata Ngebel, dlsb. Di sanalah sering dijadikan objek pergaulan bebas. Bahkan seperti hotel-hotel di Ngebel itu, begitu vulgar penduduk dan anak-anak sekolah ketika ada pasangan muda-mudi datang dengan menawarkan kamar rumahnya, atau kamar hotel di sekitar rumahnya Mas, dari pada kurang nyaman pacaran, silakan mas ada kamar yang aman dan nyaman ucap anak sekolah ketika telaga Ngebel tengah ramai. Tidak itu saja. Kafe yang memang di desain dengan cahaya minimalis, memang sengaja diperuntukkan untuk kalangan remaja yang tengah mabuk asmara. Bahkan Warnet, adalah tempat pilihan utama untuk  warung netek para remaja yang nafsu birahinya memuncak. Selain itu, di Jalan Baru dekat Gor, dan taman kota yang berada di dekat stadion Batara Katong. Di sana anak-anak pelajar perempuan dari kalangan SMP, SMK dan SMA, dengan enjoynya menjual dirinya dengan para lelaki hidung belang yang menginginkan dirinya. Mereka sudah mempunyai gank yang cukup rapi dalam operasionalnya. Setiap malam mereka berpura-pura menjadi pramusaji di warung tenda remang-remang. Dandanan dibuat semenarik mungkin, sehingga terkesan menantang birahi bagi siapa saja yang melihatnya.
Hal yang paling mudah terlihat, saat bulan puasa seolah hampir tak berbeda dengan bulan lain, warung tak malu2 buka di siang hari, jagungan sambil merokok di sudut2 jalan sudah menjadi pemadangan biasa, beda saat saya rasakan di garut, bahkan jika warung buka di siang hari malah di keroyok warga, ponorogo yang dikenal kota santri sharus nya begitu tapi...’
Kondisi demikian ada karena latar belakang bangunan keluarga2 di ponorogo banyak yang rusak, karena banyak ibu muda bekerja di luar negeri, anak2  tumbuh dan berkembang kurang sentuhan orang tua, angka perceraian termasuk tertinggi di Jawa timur, Bahkan orang gila pun sampai tak tertangani saking banyak nya, kita mudah dapat kan di jalan2, bahkan ada desa terbelakang di ponorogo yang angka keterbelakangan mental nya sangat tinggi (Jambon, Jenangan).
Namun banyak juga generasi2 baik diponorogo yang membanggakan, kita tak bisa men’generalisir kerusakan social yang ada.
Semoga pemerintahan ponorogo kedepan lebih mengedepankan pembangunan manusia, agar ponorogo memiliki generasi berkarakter kuat. Sehingga terbentuk keluarga2 yang baik,yang pada akhir nya banyak perbaikan di berbagai bidang. amin