Padahal klinik laboratorium TKI, PJTKI semua dapat langsung online ke SISKOTKLN, singkatan dari Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri, sistem online data TKI yang berujung pada penerbitan kartu KTKLN. Sistem ini dibiayai oleh APBN.
Sistem online SISKOTKLN itu menampung dan menyimpan semua data TKI mulai dari awal proses. Urutannya sebagai berikut:
- PJTKI memasukkan data TKI.
- Klinik Laboratorium memasukkan hasil cek medis TKI
- Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) memasukkan data harian TKI yang mengikuti pelatihan. Namun tidak bisa langsung, harus melalui Sekber Asosiasi BLKLN. Dari empat asosiasi BLKLN hanya dua yang masuk ke dalam Sekber, yaitu AP2TKI dan P5. Inilah satu-satunya sistem online yang membuat BLKLN harus membayar Rp 50.000 per TKI.
- Lembaga Uji Kompetensi memasukkan data TKI yang sudah lolos ujian pelatihan.
- PJTKI memasukkan data TKI yang telah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP)
- Konsorsium Asuransi memasukkan data TKI yang sudah membayar asuransi.
Tak perlu menjadi ahli perTKIan untuk melihat kejanggalan yang ada. Sederet ‘bagaimana’ timbul dari kebijakan aneh tersebut. Kalau diurai satu-satu beginilah jadinya:
- Bagaimana tanggung jawab BNP2TKI terhadap kualitas pelatihan TKI bila ternyata BNP2TKI tidak melakukan pengawasan langsung?
- Bagaimana mungkin BNP2TKI menyerahkan pengawasan pada Sekber yang terdiri dari orang-orang BLKLN sendiri yang selama ini sudah terbukti tidak ‘bersih lingkungan’. Siapapun yang mengikuti berita tentang TKI pasti mafhum bahwa pelatihan yang amburadul selama ini telah turut berperan menyumbang permasalahan yang menimpa TKI di luar negeri. Kepada orang-orang semacam ini BNP2TKI menitipkan amanat untuk pengawasan pelatihan?
- Bagaimana bisa BLKLN TKI masih harus membayar lima puluh ribu rupiah per TKI yang mengikuti pelatihan, sementara sistem online SISKOTKLN telah dibiayai oleh negara? Padahal PJTKI (jika memasukkan data calon TKI) atau klinik laboratorium TKI (bila hendak melaporkan hasil cek medis) di sistem yang sama tak mengeluarkan dana sepeserpun. Dengan hitungan konservatif, 20000 TKI yang mengikuti pelatihan dikalikan dengan 50.000 rupiah, angka yang muncul luar biasa besar untuk sekedar biaya perawatan sistem online dan menggaji staf TI. Siapa yang makan itu duit?
Tapi sekarang mengapa BNP2TKI masih berani bermain-main dengan ini? BNP2TKI memang tak berhak membuat regulasi. Tapi jangan remehkan peran pengawasan yang dibebankan negara. Sebab tanpa pengawasan regulasi, bukan apa-apa selain sederet tulisan yang bahkan mungkin kalah ampuh dari tukang jual obat tepi jalan.
Kalaulah BNP2TKI tidak takut lagi pada SBY, atau pada Bu Ani, atau pada Tuhan, paling tidak takutlah pada cibiran masyarakat. Ya….untuk siapapun yang membayangkan diri suskses dalam karir politik di negeri yang menomorsatukan citra ini, cibiran itu sungguh harus diwaspadai.