Thursday, 21 March 2013

Pilihan Jalan

Jalan tak selama nya lurus, kadang berliku, menanjak, terjal,  inilah hakikat sebuah perjalan yang didalam nya selalu menghadirkan sebuah pilihan yang kita harus pilih akan belok, atau melaju lurus karena tak mungkin kita berhenti di tempat sedang waktu terus berlalu. Inilah yang hari ini saya hadapi saat 8 bulan kontrak saya harus berakhir di ponorogo, pilihan utama adalah kembali ke Jakarta dan memulai berkarier kembali atau melanjutkan langkah kaki di ponorogo. Namun apapun keputuan nya yang terpenting yang kita harus memegang teguh kompas yang kita punya agar tak tersesat, dan kompas itu adalah Allah yang maha ‘Nurr Hadiy ‘ maha pemberi petunjuk, dengan keterbatasan mata kita kita melihat kedepan yang penglihatan kita banyak tertutup oeh kabut asap, maka Allah lah satu-satu nya petunjuk terbaik. Maka dengan kesadaran inilah menghadirkan sebuah ‘effort’’ yang tinggi untuk selalu dekat dengan Nya, dan menjaga setiap langkah agar tak membuat dia marah. Semoga Allah beri langkah ku kekuatan tuk banyak Syukur atas semua ini, kuatkan buat selalu bangun menyapa Nya saat hening, agar diberi istiqomah tuk selalu menghafal ayat-2 nya yang Indah, dengan jalan yang terjal berliku ini menyisakan hikmah untuk banyak bersyukur karena mengantarkan ku dekat dengan Nya, semoga dengan ini Allah ridha dengan perjalanku, masih melihatku dengan rahmat Nya, mengampuni apa yang salah dari hari kemarin,hingga saat nya menunjukan jalan untuk ku pada kemenengan di dunia dan selamat di akhirat. Dan saya yakin dengan banyak janji Nya 

Namun jika di tanya pilih tinggal di Jakarta atau di ponorogo, rasa nya dah nga selera deh tinggal di Jakarta, menurut saya tinggal di Jakarta tuh banyak umur kita banyak mubazir, karena banyak di buang di jalan yang kemana2 macet, kualitas hidup berkurang,karena kepadatan penduduk jadi banjir,sampah,udara bersih mahal karena dimana2 polusi, kehidupan social yang terbentuk dengan ego yang tinggi, masing2 kita secara tak langsung ingin menunjukan aku nya karena resistensi di dunia kerja, dimasyarakat hingga wajar muncul istiah “time ‘s duit “. Karena orientasi dari kehidupan social di kota kasar nya begini deh, apa yang bisa nguntungin gw ya gw jalanin, klo nga ada untung nya ngapain cape2, dah cape kerja cari duit,dijalan macet,banjir jadi sory2 aja klo sekedar basa-basi mah ky nya nga ada waktu. suka tidak suka,langsung tak langsung inilah yang terjadi saat saya tinggal di jakarta, materialism menjadi harga mati, kita lebih bernilai di masyarakat dikeluarga dari apa yang kita punya, apa yang kita dapat, kita nga punya wajar aja di kesampingkan. lantas dengan begini jg kta nga bsa ngejustifikasi semua orang Jakarta begini, nga juga kale…’      
(bsambrung)